Sunday, December 23, 2012

Perdagangan Dalam Al-Quran



A. Pendahuluan

Sejak keberadaan manusia di muka bumi perdagangan menduduki posisi penting dalam kehidupan, karena perdagangan mempunyai kaitan yang sangat erat terhadap pemenuhan kebutuhan primer manusia yakni sandang, pangan dan papan.

Menyadari akan pentingnya perdagangan dalam kehidupan manusia maka Al-Quran sebagai petunjuk hidup manusia memberikan petunjuk bagaimana menjalankannya dengan cara yang sesuai dengan tuntutan Islam, oleh karena itu makalah ini akan mengulas tentang pandangan Al-Quran terhadap perdagangan.


B. Pembahasan

1. Landasan Filosofis

a) Berniaga adalah ibadah:

Yaitu orang laki-laki yang tidak dapat dilalaikan oleh perniagaan dan jual-beli karena mengingat Allah dan mendirikan sembah­yang dan mengeluarkan zakat. Dan mereka takut akan hari yang gedebak-gedebur padanya se­gala hati dan segala pandangan. (QS 24:27)

Pada waktu melatih jiwa mendekati Tuhan dengan melakukan Shalat itu, bebaskan jiwa dan lepaskan diri pada pengaruh benda, pangkat kebesaran clan kekayaan, jual-beli dan untung rugi, demikian tersebut dalam ayat 37. Se hingga walaupun berniaga berjual-beli terus juga, dia dilaksanakan hanyalah karena termasuk zikir kepada Allah, karena Tuhan yang memerintahkan. Itulah beberapa laki-laki sejati yang telah menyediakan dirinya untuk Tuhan. Mereka mendirikan sembah yang dan mereka pun mengeluarkan zakat.
Dia menyediakan diri dan senantiasa berlatih, supaya hati ini keras lebih keras daripada waja. Tidak merasa gentar ataupun takut menghadapi perkisaran hari clan masa, tidak gentar melihat turun dan naiknya pasang zaman. Dan peng­lihatannya tidak terpesona oleh warna-warna yang palsu. Dia telah mendapat inti dari cahaya itu, dia tidak terikat lagi oleh kulit.

b) Kecintaan Terhadap Harta Dalam Rangka Kecintaan Kepada Allah

“Katakanlah: "jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (QS at-Taubah 9:24).

Ayat ini menjelaskan bahwa tujuan mencari kekayaan adalah untuk Allah, dengan demikian kekayaan yang dimiliki hanya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepadaNya. Karena dengan kekayaan seorang muslim dapat melaksanakan zakat dan berhaji yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang fakir miskin.

1. Landasan Etika

a) Larangan Riba:

Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu Karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringtakan dari Tuhannya. Lalu di berhenti, maka yang telah di perolehnya dahulu mejadi miliknya dan urusannnya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, amka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.(QS Albaqoroh: 275)

Bila dipelajari dan diikuti sistem riba dalam ayat ini dan yang berlaku di kalangan orang jahiliah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Bunga itu merupakan keuntungan yang besar bagi yang meminjamkan dan sangat merugikan si peminjam. Bahkan ada kalanya si peminjam terpaksa menjual dirinya untuk dijadikan budak agar ia dapat melunasi pinjamannya.

2. Perbuatan itu pada zaman jahiliah termasuk usaha untuk mencari kekayaan dan untuk menumpuk harta bagi yang meminjamkan.

Menurut Umar Ibnu Khattab : Ayat Alquran tentang riba, termasuk ayat-ayat yang terakhir diturunkan. Sampai Rasulullah wafat tanpa menerangkan apa yang dimaksud dengan riba. Maka tetaplah riba dalam pengertian yang umum, seperti bunga yang dikerjakan orang Arab di zaman jahiliah itu.

Keterangan Umar ini berarti bahwa Rasulullah sengaja tidak menerangkan apa yang dimaksud dengan riba karena orang-orang Arab telah mengetahui benar apa yang dimaksud dengan riba itu. Bila disebut riba kepada mereka, maka di dalam pikiran mereka telah ada pengertian yang jelas dan pengertian itu telah mereka sepakati maksudnya. Pengertian mereka tentang riba ialah riba Nasiah. Dengan perkataan lain bahwa sebenarnya Alquran telah menjelaskan dan menerangkan apa yang dimaksud dengan riba. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw. tentang yang ditinggalkan beliau untuk umatnya.


  تركتفيكمأمرينماتمسكتمبهمالنتضلوابعدي : كتاباللهوسنةرسوله
Artinya:

Aku telah meninggalkan padamu dua hal, yang kalau kamu berpegang teguh dengannya, kamu tidak akan sesat sepeninggalanku ialah Kitabullah dan Sunah Rasul. (HR Ibnu Majah)

Dalam pada itu agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. adalah agama yang telah sempurna dan lengkap diterima beliau dari Allah, tidak ada yang belum diturunkan kepada beliau.

Allah swt. berfirman:

الْيَوْمَأَكْمَلْتُلَكُمْدِينَكُمْوَأَتْمَمْتُعَلَيْكُمْنِعْمَتِيوَرَضِيتُلَكُمُالْإِسْلَامَدِينًا

Artinya:

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu. (Q.S Al Ma'idah: 3)

Riba Fadal, yaitu menjual sejenis barang dengan jenis barang yang sama dengan ketentuan memberi tambahan sebagai imbalan bagi yang baik mutunya. Seperti menjual emas 20 karat dengan emas 24 karat dengan tambahan 1 gram lagi sebagai imbalan bagi emas 24 karat.

Riba Fadal ini diharamkan juga tetapi dosanya tidak sama dengan riba nasiah. Dasar hukum haramnya riba fadal ialah sabda Rasulullah saw.:

لاتبيعواالذهببالذهبوالفضةبالفضةوالبربالبروالشعيربالشعيروالتمربالتمروالملحبالملحإ
لامثلابمثلفمنزادأواستزادفقدأربي

Artinya:

Janganlah kamu jual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair (padi belanda) dengan syair, tamar dengan tamar, garam dengan garam, kecuali sama jenis dan kadarnya dan sama-sama tunai. Barang siapa yang menambah atau meminta tambah, maka sesungguhnya ia telah melakukan riba. (HR Bukhari dan Ahmad)

Sama-sama jenis dan kadarnya dan sama-sama tunai maksudnya ialah jangan merugikan salah satu pihak dari orang-orang itu.

Ayat di atas menerangkan akibat yang akan dialami oleh orang-orang yang memakan riba, yaitu jiwa dan hati mereka tidak tenteram, pikiran mereka tidak menentu. Keadaan mereka seperti orang yang kemasukan setan atau seperti orang gila.

Orang Arab jahiliah mempercayai bahwa setan dapat masuk atau mempengaruhi jiwa manusia, demikian pula jin. Bila setan atau jin telah masuk atau mempengaruhi jiwa seseorang, maka rusaklah akalnya, seperti orang kesurupan.

Alquran menyerupakan pengaruh riba pada seseorang yang melakukannya dengan pengaruh setan yang telah masuk ke dalam jiwa seseorang menurut kepercayaan orang Arab jahiliah, agar maksud ayat yang disampaikan mudah dipahami, bukanlah maksud untuk menerangkan bahwa Alquran menganut kepercayaan seperti kepercayaannya orang Arab jahiliah itu.

Menurut jumhur mufassirin, ayat ini menerangkan keadaan pemakan riba pada hari kiamat, yaitu seperti orang yang kemasukan setan. Pendapat ini mengikuti pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Masud.

Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah saw:

إياكوالذنوبالتيلاتغفر : الغلولفمنغلشئاأتيبهيومالقيامةوآكلالربافمنأكلالربابعثيومالقيامةمجنونايتخبط

Artinya:

Jauhilah olehmu dosa yang tidak diampuni, yaitu gulul (ialah menyembunyikan harta rampasan dalam peperangan dan lainnya), maka barang siapa melakukan gulul nanti barang yang disembunyikan itu akan dibawanya pada hari kiamat. Dan pemakan riba, barang siapa yang makan riba ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila lagi kemasukan (setan). (HR At Tabrani dai 'Auf bin Malik)

Tetapi kenyataan yang terdapat di dalam kehidupan manusia di dunia ini, orang pemakan riba itu kehidupannya benar-benar tidak tenang, selalu gelisah tak ubahnya sebagai orang yang kemasukan setan. Sebab itu ada para mufassir yang berpendapat, bahwa ayat ini menggambarkan pemakan riba di dunia. Pendapat ini dapat dikompromikan dengan pendapat pertama, yaitu keadaan mereka nanti di akhirat sama dengan keadaan mereka di dunia, dalam hal tidak adanya ketenteraman bagi mereka.

Dari kelanjutan ayat dapat dipahami, bahwa keadaan pemakan riba itu sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat lagi membedakan antara yang halal dan yang haram, antara yang bermanfaat dengan mudarat, antara yang dibolehkan Allah dan yang dilarang-Nya, sehingga mereka mengatakan jual beli itu sama dengan riba.

Selanjutnya Allah menegaskan bahwa Dia menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Allah tidak menerangkan sebabnya. Allah tidak menerangkan hal itu agar mudah dipahami oleh pemakan riba, sebab mereka sendiri telah mengetahui, mengalami dan merasakan akibat riba itu.

Dari penegasan itu dipahami pula bahwa seakan-akan Allah swt. memberikan suatu perbandingan antara jual-beli dengan riba. Hendaklah manusia mengetahui dan memikirkan dan memahami perbandingan itu.

Pada jual-beli ada pertukaran dan penggantian yang seimbang yang dilakukan oleh pihak penjual dengan pihak pembeli, serta ada manfaat dan keuntungan yang diperoleh dari kedua belah pihak dan ada pula kemungkinan mendapat keuntungan yang wajar sesuai dengan usaha yang telah dilakukan oleh mereka. Pada riba tidak ada pertukaran dan penggantian yang seimbang itu. Hanya ada semacam pemerasan yang tidak langsung yang dilakukan oleh pihak yang empunya terhadap pihak yang sedang memerlukan yang waktu meminjam itu dalam keadaan terpaksa.

Setelah Allah swt. menerangkan akibat yang dialami oleh pemakan riba, perkataan yang diucapkan oleh pemakan riba yang pikirannya sedang dipengaruhi keenakan memakan riba dan penegasan Allah tentang hukum jual-beli dan riba, maka Allah mengajak para pemakan riba dengan ajakan yang lemah-lembut, yang langsung menuju ke hati nurani mereka, sebagaimana lanjutan ayat di atas.

Allah swt. menyebut larangan-Nya tentang riba itu "Mau`izah" (arti asal dari pengajaran"), maksudnya ialah larangan memakan riba itu adalah larangan yang bertujuan untuk kebaikan manusia sendiri, agar berbahagia hidup di dunia dan akhirat, hidup dalam keadaan rasa cinta dan kasih sesama manusia dan hidup penuh ketenteraman dan kedamaian.

Barang siapa memahami larangan Allah swt. dan melaksanakannya hendaklah ia menghentikan perbuatan riba itu dengan segera. Mereka tidak dihukum Allah swt. terhadap perbuatan yang mereka lakukan sebelum ayat ini diturunkan.

Mereka tidak diwajibkan mengembalikan riba pada waktu ayat ini diturunkan, hendaklah segera berhenti, mereka boleh mengambil pokok pinjaman mereka saja, tanpa bunga yang mereka setujui sebelumnya.

Dalam ayat ini terkandung suatu asas pokok yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan undang-undang, peraturan atau hukum, yaitu suatu undang-undang, peraturan atau hukum yang akan ditetapkan tidak boleh berlaku surut jika berakibat merugikan pihak-pihak yang dikenai atau yang dibebani undang-undang, peraturan atau hukum itu. Sebaliknya boleh berlaku surut bila menguntungkan pihak-pihak yang dikenai atau dibebani olehnya.

Akhir ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang telah melakukan riba, dan orang-orang yang telah berhenti melakukan riba kemudian mengerjakannya kembali setelah larangan ini, mereka termasuk penghuni neraka, mereka akan kekal di dalamnya.

"Kekal di dalam neraka", maksudnya ialah lama tinggal di dalam neraka. Dari perkataan "kekal" ini dimaksudkan bahwa perbuatan riba ini termasuk dosa besar. Karena pelakunya diazab dalam waktu yang lama.

Menurut sebagian ahli tafsir, dosa besar yang ditimpakan kepada pemakan riba ini disebabkan karena di dalam hati pemakannya itu telah tertanam rasa cinta harta, lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri, mengerjakan sesuatu karena kepentingan diri sendiri bukan karena Allah. Orang yang demikian adalah orang yang tak mungkin tumbuh dalam jiwanya iman yang sebenarnya. Yaitu iman yang didasarkan kepada perasaan, pengakuan dan ketundukan kepada Allah swt. Seandainya pemakan riba yang demikian masih mengakui beriman kepada Allah swt., maka imannya itu adalah iman di bibir saja, iman yang sangat tipis dan yang tidak sampai ke dalam lubuk hati sanubarinya.

Hasan Al-Basri berkata, "Iman itu bukanlah perhiasan mulut dan angan-angan kosong, akan tetapi iman itu adalah ikrar yang kuat di dalam hati dan dibuktikan oleh amal perbuatan. Barang siapa yang mengatakan kebaikan dengan idahnya sedang perbuatannya tidak pantas, Allah menolak pengakuannya itu. Barang siapa yang mengatakan kebaikan sedangkan perbuatannya baik pula, amalnya itu akan mengangkat derajatnya."

Dan Rasulullah saw. bersabda:

إناللهلاينظرإليصوركموأموالكمولكنينظرإليقلوبكموأعمالكم

Artinya:

Allah tidak memandang kepada bentuk jasmani dan harta bendamu, akan tetapi Allah memandang kepada hati dan amalmu. (HR Muslim dan Ahmad)



b) Larangan Memakan Harta Secara Batil

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdaganagn yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan jangalah kamu membunuh dirimu sungguh Allah maha penyayang kepadamu (QS An-Nisa’ 29)

Menurut ulama tafsir, larangan memakan harta orang lain dalam hal ini adalah:

1) Pengakuan hak milik: dengan demikian pengambilan barang milik tanpa seizin pemiliknya adalah perbuatan batil, seperti pencurian, korupsi penipuan dan lain sebagainya yang dapat menghilangkan secara paksa kepemilkan seseorang.

2) Zakat: karena zakat berfungsi sebagai harta dan sebagai hak atas delapan asnaf maka tindakan penghindaran membayar zakat dapap dianggap sebagai memakan harta yang batil.


2. Landasan Operasional

a) Penulisan Transaksi

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS: Al-Baqoroh 282)

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Baqoroh 283)

Islam telah menurunkan cara-cara mu’amalah yang adil dan memihak kepada para pihak yang terlibat, sampai-sampai mengatur hingga terperinci soal agunan dan cara-cara penulisan surat perjanjian, kesaksian, sikap penulis dan sikap saksi beserta dengan pesan moralnya. Bersama-sama dengan aturan muamalah lainnya ayat ini saling melengkapi suatu kesatuan hukum Mau’amalah yaitu hukum-hukum transaksi dalam Islam sebagai bagian dari sistem Ekonomi Islam. Pada tiap ayat baik ayat 282 dan 283, selalu berisikan pesan moral yaitu supaya tiap transaksi dilakukan itu berdasarkan takwa dan melepaskan diri dari perbuatan fasik yang menimbulkan dosa hati.

Adapun tujuan utama dari penulisan transaksi disini adalah untuk memelihara muamala sehingga tidak terjadi sengketa dikemudian hari. Penekanan pada ayat diatas juga terdapat pada hendaknya penulis tersebut adil serta faham permasalahan fiqih.

b) Waktu

Wahai orang-orang beriman apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beeli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Apabila shalat telah dilaksanakan maka bertebaranlah kamu di bumi carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.

Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka segera menuju kepadanya dan mereka tinggalkan engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah, ”apa yang ada disisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan,” dan Allah pemberi rizki yang terbaik.


C. Penuutup

Al-Quran telah memberikan rambu-rambu yang jelas kepada manusia tentang bagaimana mencari harta lewat perdagangan, dengan memberikan penekannya pada larangan untuk memakan harta secara batil, kedadilan dan sistem pencatatan atas transaksi yang sedang dilangsungkan.


No comments:

Post a Comment